Sabtu, 25 Mei 2013

Lubang Hati Yang Ku Jaga (FunFiction)



Siang ini ku berjalan sendiri menelusuri jalan setapak di dekat terowongan gelap peninggalan jaman belanda beberapa abad yang lalu. Hembusan angin yang begitu kencang berkat angin yang berasal dari luar terowongan yang mulai pengap, sedikit memberi kesejukan dalam diriku. Seperti ini aku lakukan saat hatiku sedang merasa ganjalan dan sedih, biasanya aku berjalan tak sendiri, tapi kini aku kan  melakukan nya sendiri hingga waktu tiba. Aku termenung, berjalan pelan menulusuri dinding-dinding yang muali usam, ah tidak, lebih tepatnya sangat usam, dengan warna yang tak  lagi dapat ditafsirkan warna apa tersebut, dengan tembok yang telah dilapisi lumut pada bagian samping, serta banyaknya laba-laba yang membangun rumah di atap terowongan tersebut. Yah tentu  wajar, karena terowongan itu tak lagi dirawat, tak pernah lagi dijamah oleh manusia, selain sebagai jalan sehari-hari, maklum terowongan ini satu-satunya jalan yang bisa dilewati sebagai jalan alernatif menuju kota sebelah utnuk melakukan segala aktifitas. Terlebih setelah dibangun apartemen baru yang memakan jalan sebelumnya. Ulah orang-orang atas yang tak bertanggungjawab. Sudahlah, untuk apa juga aku memikirkan mereka, biarkan mereka membangun dan memesan tempat paling jahanam di neraka kelak seluas-luasnya. Sejenak aku berhenti memandang pohon sawo di ujung terowongan itu, sejenak aku teringat memori 2 tahun yang lalu saat aku dan mas irwan yang masih bersama walau tak bersatu. Seseorang yang mampu membuat ku kagum dan membuat ku terkesan di awal jumpa padahal saat itu kita belum mengenal satu sama lain.
“ Udah lah ma, aku gak mau kuliah, aku pengen kerja aja” ucap ku pagi itu, tepatnya 1 bulan setelah pengumuman kelulusan ku dari bangku kuliah SMA. Aku ingat sekali itu adalah 17 Mei 2009.
“Kenapa juga nggak mau kuliah, mama bisa membiayai kamu ren, dan mama pengen kamu tu bisa jadi PNS kayak anaknya budhe mu yang di Solo itu hlo.” Ujar Mama ku, yang always ngotot menyuruhku untuk kuliah. Maklum Mamaku dan 2 kakaknya adalah sarjana di salah satu perguruan tinggi, mereka bergelar Dr. Jadi maklum Mama ku ingin keturunanya mempunyai nasib yang serupa.
“Udah lah mah, iren gak mau dipaksa kuliah, iren capek ma harus mikir-mikir lagi, toh nanti kalau iren mau, iren bakal kuliah deh. Lagian ntar iren tu bakalan jadi istri ma, iren kalo jadi pegawai pasti bakalan lupa ngurus anak iren ntar.” Ucap ku sembari mengambil Roti yang telah disiapkan untuk sarapan pagi ku. Memang pagi itu hanya aku dan mama yang dirumah karena ayah ku berada di luar kota untuk kegiatan dinas dari kantornya. Sedang aku adalah anak tunggal.
“ Iren, kalo bukan kamu siapa lagi, mama uda gak bisa memberi keturunan lagi hlo,” Kekehnya mamaku pada keputusannya.
“ Ma, Iren uda besar, Iren pengen mencari kegiatan Iren sendiri ma” Jawabku sambil berlalu meninggalkan sarapan yang terpaksa ku tinggal, karena tak lagi betah pada ocehan mama. “Uda ma, iren mau pergi” Aku keluar meninggalkan mama ku tanpa berpamitan. Entahlah aku tidak tau mau apa dipagi hari ini, aku bingung mau berjalan kemana. Akhirnya aku berjalan menuju jalan dekat rumah yang sudah menembus jalanan kota. Aku bertemu dengan seorang SPG perempuan yang menawariku sebotol minuman dingin, kebetulan sekali rasanya haus sekali siang ini, untungnya aku membawa uang. Sambil duduk di tepian jalan, dibawah pohon mangga yang belum berbuah, maklum belum musimnya. Ku pandangi kepadatan kota ini, diseberang sana aku melihat seorang pria, maklum kami berhenti di seberang jalan masing-masing tanpa ada orang lain yang menunggu, nampaknya dia sedang menungggu, entah menunggu teman, angkutan umum, atau apalah entahlah, tapi dia sukses membuat ku terus memperhatikannya. Dengan dasi hitam bergaris, kemeja warna coklat, terlihat nampaknya dia adalah seorang pegawai. Sesaat kemudian sebuah bus datang berhenti tepat di depan ku. Bus itu menurunkan penumpang tepat di depanku. Setelah Bus berjalan, panndangan berbeda terlihat din ujung jalan sana, orang yang membuat ku sukses melihat dan memandanginya tak lagi terlihat. “Lagian siapa sich dia, ngapain juga aku memandanginya?” hah, gerutu ku sambil berjalan berlalu.
“Kayaknya mama uda berangkat deh,” Ya, aku menunggu mama berangkat ke kantor agar tak lagi membuat ku pusing dengan paksaannya menyuruh ku untuk kuliah. Aku masuk dan langsung menemui mbok yem, dia sudah ikut dengan keluarga sejak aku masih baby, bisa dikatakan aku ini anaknya mbok yem, karena mbok yem lah yang merawatku dari kecil, karena mama sibuk dengan pekerjaannya, Asi nya pun Cuma di pompa ke dalam botol lalu di freezer untuk diberikan kepada ku nantinya.
“Mbok yem, kapan sich pulangnya????” sambil ku peluk mbok yem dari belakang.
“Hadu mbak iren, bikin kaget aja. Mbak Iren darimana sich? Mama nyari hlo mbak” jawab mbok yem yang masih sibuk dengan potongan bawangnya.
“Iren males mbok soalnya mama nyebelin sich.. masak Iren dipaksa kuliah Cuma buat melindungi dia dari gengsinya” Jawabku dengan tetap memeluk mbok yem sambil bermanjaan.
“Mbak Iren gak boleh gitu kasian mama hlo mbak iren” Mbok Yem menghentikan potongannya.
“Iya sich mbok, udahlah gak usah bahas mama mbok, Ow ya mbok yem pulang kapan? Kok gak dijawab sich mbok?” Ucap ku sambil melepas pelukan dan menuju lemari es untuk mengambil minuman.
“ Lusa mbak iren, mbok uda ijin ke mama katanya sich gak papa, emangnya kenapa mbak?” jawab mbok yem sambil wara-wiri menyelesaikan tugasnya.
“Aku mau ikut mbok” Aku menuangkan air dalam gelas. Mbok yem berhenti dan termangu. “ Ikut mbak??? Haduh yang benar saja rumah mbok tu jelek banget hlo mbak” jawab mbok yem sambil berjalan ke arah ku.
“ Lha trus kalo jelek emang gak boleh apa mbok, lagian dirumah ini tu berasa sendiri juga kali mbok aku, ya sekalian nyari kegiatan gitu, lagian besok 1 bulan mama gak balik hlo mbok, trus bulan berikutnya sibuk lagi dan lagi. Capek mbok sendirian mulu. Lagian mbok yem kan juga kerja terakhir dan mau pensiun, iren sama siapa mbok?” Sambil meneguk minuman yang ku tuangkan tadi.
“ Pensiun, emangnya mbok yem pegawai negeri apa mbak?” Mbok yem tertawa. Seneng rasanya liat mbok yem tertawa, aku memeluk mbok yem lagi rasanya agak berat melihat tawa mbok yem tadi. “Mbok, boleh ya aku ikut?” akhirnya mbok yem membolehkan




“Wah, adem gitu ya mbok?” jawab ku sambil menikmati nikmatnya udara segar di desa mbok yem. Aku ikut mbok yem sampai batas waktu yang tidak ditentukan, aku pergi tanpa pamit. Mbok yem melarang sebanarnya karena mama pasti panik. “ Mbok kalo mama panik, ntar nelpon, liat aja uda 5 jam perjalanan gak da tu telpon dari mama” jawab ku atas larangan mbok yang gak ijin. Sekitar 1 jam aku naik andong atau delman, sampai juga di depan bangunan besar masih berbentuk kuno dengan pekarangan luas disertai tanaman herbal semacam jahe, lengkuas dan keturunanya.
“Nah, ini rumah mbok yem, jelek mbak, gak kayak rumah mbak iren di Jakarta, disini kumuh” Ujar mbok yem mengenalkan rumahnya, sambil menurunkan bawaan dari Jakarta.
“Ya ampun, ukuran kampung ma biasa kali mbok yang kayak gini.” Ucapku bahagia, entah mengapa di rumah besar itu aku sama sekali gak merasa baik. Setelah turun di rumah mbok yem rasanya kayak waktu bayi dulu masih hidup biasa ngrasa lahir kembali. Mbok yem menurunkan bawaan ku dari atas andong “ mbok, mulai sekarang iren gak perlu diladeni, oke” aku langsung masuk ke dalam rumah mbok yem. Ku ketuk pintu rumah itu, keluar seorang anak perempuan seumuran denganku membukakan pintu “ Mbak iren???” dia kaget melihat lkut datang. “Hehe miar, kok kamu masih inget sama aku”. “Ya masihlah mbak iren, ada-ada aja, mari masuk mbak” Namiar mengajak ku masuk, aku bertemu saat aku masih kelas 3 SMP, saat itu dia ikut liburan ke tempat mbok yem kerja. Dirumah itu aku disambut dengan baik diperlakukan bak tamu kehormatan, walau sebenarnya aku tidak ingin diperlakukan seperti itu, tapi karena itu adalah mbok yem, aku gak akan bisa berbuat apa-apa. Nampaknya aku akan betah disini.
Waktu berjalan sudah hampir 3 bulan, mama hanya menghubungi ku satu kali, itupun saat aku sedang tidur hingga sekarang tak lagi menelpon, ok sisi itu kulupakan aku benar-benar tidak merasa repot akan ketidak hadiran mama. “ Mbak iren, ikut aku yuk ke kebun, nanem benih cabe.” Ajak miar kepada ku. Aku mengiyakan, kita berjalan menuju kebun yang letaknya tak jauh dari rumah mbok yem, benar-benar sejuk  dan menyegarkan udara yag ada disekitar sini. Sampailah di kebun mbok yem, “ Mbak iren ikut turun atau tunggu disini” ucap iren bertanya pada ku . “emm, gak deh miar aku tunggu disini aja ya??” ucapku, maklum belum pernah aku bersentuhan dengan halyang becek. Aku mendengarkan lagu kesukaan ku sambil menunggu miar menyelesaikan tanaman benih nya. Tiba-tiba sebuah rumah yang berada paling ujung membuat ku kaget, jujur saja itu adalah bangunan rumah paling mewah menurut ku dan modern. Tak lama keluar laki-laki yag ciri-ciri luar sangat mirip dengan pria yang kulihat di halte tempo hari. Hah, benarkah???? Hingga miar datang memecahkan lamunan ku “ Mbak iren nglamunin apa??” “hah, kamu naggetin aja, gak miar itu kenapa bisa beda ya???” tanyaku sambil menunjuk rumah di ujung desa itu. “ Oh, itu rumahnya mas irwan mbak iren, dia Pegawai di Kota sana mbak, rumahnya paling gede disini, soalnya dari umur 12 tahun dia uda kerja mbak, ya sampai sukses gitu dia”. “Ha, 12 tahun uda kerja??? Gak sekolah miar?” , tanyaku penasaran .
“Nanti aku ceritakan dirumah mbak iren, balik yuk uda sore, belum mandi juga kan?”
“Miar, tadi katanya mau cerita?” aku terus memaksa miar agar mau cerita. Akhirnya Miar cerita tentang cerita ayang sebenarnya. “ Mas Irwan itu dulunya orang gak punya mbak, orang tua nya uda gak ada, dia anak tunggal, mau gak mau dia musti banting tulang buat hidupnya sendiri, dia pergi ke kota mbak buat nyari uang, beberapa tahun kemudian dia uda sukses, bahkan nich mbak tiap gajian pasti mas irwan selalu bagi-bagi hasil mbak. Tapi sayang dia punya penyakit yang bisa bikin dia pergi sewaktu-waktu mbak. Namanya tu kanker darah mbak, waktu denger tu kita sedih mbak, maklum mbak, mas irwan tu kayak pahlawan disini mbak, jadi banyak yang sayang sama mas irwan mbak.”
“Kanker darah? Uda diobati miar???” tanyaku penasaran pada mas irwan. “Em, katanya dulu sich harusnya di rawat inap mbak tapi mas irwan gak mau mbak. Uda ya mbak aku ngantuk nich…”
Aku masih melamun, entah bagaimana hanya melihat tanpa mengenal rasanya aku sangat terpikir oleh sosok irwan itu. Pagi harinya aku pamit sama mbok yem untuk ke kebun, bukan apa-apa aku masih penasaran saja dengan irwan. Aku duduk di dekat batu yang memang diletakkan untuk sandaran para petani yang ada disekitar situ, karena memang tempatnya nyaman sekali. “ Dari Kota sebelah ya?” Suara seoang laki-laki yang membangunkan lamunan ku, dan itu suara orang yang disebut miar sebagai irwan.
“Ha, em, i..iya..” ucap ku gugup, bagaimana tidak orang yang mau aku selidiki malah kini di depan ku, tanpa aku sadari pula kedatanganyya. Dia duduk disebelah ku. Aku pun berusaha menutupi kegugupanku dengan bertanya padanya “ Kok kamu tahu kalo aku dari kota”.
  Iya lah, seluruh orang disini aku tu tahu, kamu aja yang kelihatannya asing.” Ucapnya “pasti kamu mau Tanya kenapa aku bisa tahu kamu disini?” hah, dia menebak apa yang aku mau katakan. “ Ow, ya, rumahku disana, kamu pasti sudah tau, sering main kesana ya, kebetulan aku ada akses buat internet, biar kamu gak bosan. Ow ya, aku irwan” ucapnya sambil berdiri dan mengulurkan tangan untuk perkenalan. Aku pun membalas uluran tangannya “ Oh, irwan, aku Iren” Dia turun menuruni jalan kecil yang berada di pinggiran kebun mirip jalan setapak.
Beberapa hari seteleh pertemuan itu aku akhirnya memutuskan untuk main kesana, dengan diantar miar aku mengunjungi rumahnya. Kali pertama aku hanya ingin tahu lewat mana ketika ingin kerumahnya. Ternyata lumayan jauh juga. Kali kedua aku masih mengajak miar. Dan yang ketiga aku mencoba datang sendiri, tapi benar-benar apes atau entah kebetulan dia telah ada di depan rumahnya, karena sudah ketauan aku pun beralasan meminjam akses internet nya.
“Mas irwan aku mau pinjem, buat ngaktifin akun ku bentar bisa.” Pinta ku sambil berusaha menutupi niatan ku sebenarnya. “ masuk aja ren, ada di kursi tuh, aku mau nyiram tanaman sawo ku dulu,” ucapnya sambil menancapkan selang ke dalam lubang keran miliknya. Aku pun masuk kedalam rumah dan mengambil laptop miliknya. Benar-benar bersih walau dia tinggal sendiri, tapi dia sangat rapi. “Mas Irwan tinggal sendiri ya? “ tanyaku sambil membuka laptop miliknya. Dengan masih menyiram pohon tanaman miliknya ia menjawab sambil tersenyum “ Pasti uda tau dari Miar atau mbok yem kan, kok Tanya lagi???”. Sesaat aku merasa bodoh sekali kayak ada bahan buat dibahas aja. Mumpung dia sedang nyiram tanaman aku pun bertanya “ Itu tanaman buat mas irwan sendiri atau dibudidayakan mas?”
“Ini? Ini tu untuk warga, aku Cuma mbesarin sampai setinggi 1 meter, setalah itu ini akan dipindah ke kebun mereka ya, biar ada rindang-rindangnya, kan lumayan kalo berbuah.” Jawab dia sambil duduk disebelah ku. Kita ngobrol seputar hal yang mungkin kita nyambung. Dan dia adalah pria berpikiran kota yang sangat maju, nyaman, friendly, menyenangkan sekali.




Sudah hampir 5 bulan aku mengenal mas irwan, suatu hari aku diajak mas irwan ke sebuah tempat. “Ren, sini deh ikut aku, kebetulan jalan yang diseberang kan uda di tutup, nah, aku kasih tau deh supaya bisa ke kota dengan cepet.” Aku mengiyakan ajakan mas irwan. Sampai disebuah terowongan yang kotor. “Jijik ya kamu?” Tanya mas irwan pada ku. “ Gak lah mas, aku bukan cewek kayak gitu, kemayu “ kami tertawa bersama. Disinilah mas irwan menyatakan perasaan nya pada ku “ Ren, sejujurnya aku suka sama kamu waktu kamu awal disini” aku kaget mendengar mas irwan menyetakan perasaanya. Singkatkanya hari itu kami menyatakan cinta kami masing-masing. Kurang lebih satu tahun kami bersama, mas irwan mengajak bertemu di terowongan itu, dia membawa pohon sawo untuk ditanam di ujung terowongan. “ Nich, kalo ntar kamu menunggu kedatangan ku nanti, ini bisa jadi temen, sawonya enak banget ini” seminggu kemudian mas irwan tiba-tiba menghilang tanpa jejak, rumahnya pun sepi tanpa ada orang, orang disekitar situ pun tak pernah tau, sedih sekali hati ini mendengar berita itu. Terlebih sudah 2 bulan mas irwan tidak pulang. “Aku yakin kamu akan datang pada ku nanti mas” itu yang kuucapkan dalam hati. Aku telusuri terowongan itu setiap hari namun nampakanya mas Erwin benar-benar tak kembali. Aku memutuskan untuk kembali ke kota, dengan harapan mungkin aku bisa melihat mas irwan atau bayangannya, kalopun tidak aku ingin melupakannya saja.
Sesampainya dirumah, aku kembali ingin mengingat memori tentang mas irwan saat ia menantikan kedatangan bus, namun 3 jam aku disana tak ada lagi. Aku memutuskan untuk istirahat sejenak dan berusaha sedikit melupakan mas irwan. 1 bulan  lamanya aku mengahabiskan waktu dirumah nyatanya tak bisa begitu saja aku melupakan mas irwan. Pagi hari yang indah aku ingin jalan-jalan entah mengapa aku berhenti di tempat yang sama, kali ini pemandangan itu berbeda, sesosok pria mirip mas irwan memang terlihat di ujung jalan sana, tapi siapa wanita disampingnya? Dengan tangan mas irwan yang ada di pundak wanita itu??? Sekretarisnya?? Lagi dan lagi belum Tanya ku terjawab sebuah bus kembali menutup pandanganku dan setelah bus itu pergi tak lagi ku lihat pasangan di ujung sana. Aku piker ini hanya sebatas halusinasi ku yang sudah kangen oleh sosok mas irwan atau mungkin kisah ini sama mulanya, barangkali aku bisa menemui mas irwan di desanya.
Hari itu juga aku datang ke rumah mbok yem, dan menceritakan semua pada mbok yem, bersama miar aku diantar menuju rumahnya. Masih sama seperti 3 bulan lalu, rumah itu tetap sepi tak ada kehidupan, terlebih tanaman sawo, pepaya, yang telah mati karena tak terawat. Lalu apa maksudnya semua ini??? Mengapa hanya lubang yang mas irwan tinggalkan untuk ku, kenapa tidak sekalipun ia menancapkan kata-kata agar aq menunggu atau kata lain yang tidak meninggalkan bekas di hati ini, pohon sawo yang ada di terowongan disana, apa maksudnya atau kah dia meninggalkan pohon sawo itu hanya untuk kenangan semata, atau agar hanya sekedar perindang di sekitar terowongan, atau justru dia sengaja ingin terus membuat memori buruk ketika aku melewati terowongan ini? Atau apapun itu terowongan ini tidak ada yang berniat membongkarnya agar setidaknya bisa dijadikan tempat atau jalan terbuka, mereka mengatakan ini adalah kenang-kenangan dari mas irwan. Lantas bagaimana dengan kanker itu? Sembuhkah dia atau telah tiadakah dia, jika memang warga disini sangat dia sayangi kenapa tak ada satupun yang diberitahu keberadaanya. Kalau dia masih hidup, hidup dimanakah dia sekarang? Tidak kah dia ingat pada warga disini, jika dia telah tiada, dimana nyawanya terakhir kali bersama dia.? Pikiran itu selalu mengganggu pikiran ku.
“Buukk” Suara sawo yang jatuh tepat mengenai kepala ku yang ku sandarkan di batang  pohon yang telah menguat saking lamanya berdiri mampu membangunkan ku dari memori kelam masa lalu, bersama dengan itu suara anak ku membangunkan lamunan ku “ Ibu, kemana aja sih, dicari kenapa gak da”. Ucap septi anak ku yang paling cantik sambil berlari mendekat padaku.
“kamu udah makan sep??” tanyaku sambil ku gendong anak ku yang manis.
“ Udah bu, mbok yem tadi uda masakin, enak hlo, ayah aja sampe nambah, ow ya ma, besok ajak mbok yem sama tante miar buat beli baju yuk, “ rengek anak ku sambil mencium pipiku.
“ Iya sayang, ya uda ntar bilang ayah ya, yuk pulang.” Ku turunkan septi dan ku pegang erat tangan mungilnya. “ Mas Irwan, ini anak ku, mungkin kamu sekarang lebih beruntung karena munkin sekarang anak mu sudah besar, atau mungkin seumuran septi? Entah lah mas, aku sendiri tak tahu bagaimana kabarmu, dan sawo-sawo itu sudah jatuh semua, mereka sudah berlubang dimakan ulat, sama halnya dengan hati ku yang berlubang karena janjimu. Sudahlah toh pada akhirnya kita sudah ada di kebahagiaan masing-masing” ungkap hatiku sambil berjalan meninggalkan terowongan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar