Siang ini ku berjalan sendiri menelusuri jalan setapak di dekat
terowongan gelap peninggalan jaman belanda beberapa abad yang lalu. Hembusan
angin yang begitu kencang berkat angin yang berasal dari luar terowongan yang
mulai pengap, sedikit memberi kesejukan dalam diriku. Seperti ini aku lakukan
saat hatiku sedang merasa ganjalan dan sedih, biasanya aku berjalan tak sendiri,
tapi kini aku kan melakukan nya sendiri
hingga waktu tiba. Aku termenung, berjalan pelan menulusuri dinding-dinding
yang muali usam, ah tidak, lebih tepatnya sangat usam, dengan warna yang tak lagi dapat ditafsirkan warna apa tersebut,
dengan tembok yang telah dilapisi lumut pada bagian samping, serta banyaknya
laba-laba yang membangun rumah di atap terowongan tersebut. Yah tentu wajar, karena terowongan itu tak lagi
dirawat, tak pernah lagi dijamah oleh manusia, selain sebagai jalan
sehari-hari, maklum terowongan ini satu-satunya jalan yang bisa dilewati
sebagai jalan alernatif menuju kota sebelah utnuk melakukan segala aktifitas. Terlebih
setelah dibangun apartemen baru yang memakan jalan sebelumnya. Ulah orang-orang
atas yang tak bertanggungjawab. Sudahlah, untuk apa juga aku memikirkan mereka,
biarkan mereka membangun dan memesan tempat paling jahanam di neraka kelak
seluas-luasnya. Sejenak aku berhenti memandang pohon sawo di ujung terowongan
itu, sejenak aku teringat memori 2 tahun yang lalu saat aku dan mas irwan yang
masih bersama walau tak bersatu. Seseorang yang mampu membuat ku kagum dan
membuat ku terkesan di awal jumpa padahal saat itu kita belum mengenal satu
sama lain.
“ Udah lah ma, aku gak mau kuliah, aku pengen kerja aja” ucap ku
pagi itu, tepatnya 1 bulan setelah pengumuman kelulusan ku dari bangku kuliah
SMA. Aku ingat sekali itu adalah 17 Mei 2009.
“Kenapa juga nggak mau kuliah, mama bisa membiayai kamu ren, dan
mama pengen kamu tu bisa jadi PNS kayak anaknya budhe mu yang di Solo itu hlo.”
Ujar Mama ku, yang always ngotot menyuruhku untuk kuliah. Maklum Mamaku dan 2
kakaknya adalah sarjana di salah satu perguruan tinggi, mereka bergelar Dr.
Jadi maklum Mama ku ingin keturunanya mempunyai nasib yang serupa.
“Udah lah mah, iren gak mau dipaksa kuliah, iren capek ma harus
mikir-mikir lagi, toh nanti kalau iren mau, iren bakal kuliah deh. Lagian ntar
iren tu bakalan jadi istri ma, iren kalo jadi pegawai pasti bakalan lupa ngurus
anak iren ntar.” Ucap ku sembari mengambil Roti yang telah disiapkan untuk
sarapan pagi ku. Memang pagi itu hanya aku dan mama yang dirumah karena ayah ku
berada di luar kota untuk kegiatan dinas dari kantornya. Sedang aku adalah anak
tunggal.
“ Iren, kalo bukan kamu siapa lagi, mama uda gak bisa memberi
keturunan lagi hlo,” Kekehnya mamaku pada keputusannya.
“ Ma, Iren uda besar, Iren pengen mencari kegiatan Iren sendiri ma”
Jawabku sambil berlalu meninggalkan sarapan yang terpaksa ku tinggal, karena
tak lagi betah pada ocehan mama. “Uda ma, iren mau pergi” Aku keluar meninggalkan
mama ku tanpa berpamitan. Entahlah aku tidak tau mau apa dipagi hari ini, aku
bingung mau berjalan kemana. Akhirnya aku berjalan menuju jalan dekat rumah
yang sudah menembus jalanan kota. Aku bertemu dengan seorang SPG perempuan yang
menawariku sebotol minuman dingin, kebetulan sekali rasanya haus sekali siang
ini, untungnya aku membawa uang. Sambil duduk di tepian jalan, dibawah pohon
mangga yang belum berbuah, maklum belum musimnya. Ku pandangi kepadatan kota
ini, diseberang sana aku melihat seorang pria, maklum kami berhenti di seberang
jalan masing-masing tanpa ada orang lain yang menunggu, nampaknya dia sedang
menungggu, entah menunggu teman, angkutan umum, atau apalah entahlah, tapi dia
sukses membuat ku terus memperhatikannya. Dengan dasi hitam bergaris, kemeja
warna coklat, terlihat nampaknya dia adalah seorang pegawai. Sesaat kemudian
sebuah bus datang berhenti tepat di depan ku. Bus itu menurunkan penumpang
tepat di depanku. Setelah Bus berjalan, panndangan berbeda terlihat din ujung
jalan sana, orang yang membuat ku sukses melihat dan memandanginya tak lagi
terlihat. “Lagian siapa sich dia, ngapain juga aku memandanginya?” hah, gerutu
ku sambil berjalan berlalu.
“Kayaknya mama uda berangkat deh,” Ya, aku menunggu mama berangkat
ke kantor agar tak lagi membuat ku pusing dengan paksaannya menyuruh ku untuk
kuliah. Aku masuk dan langsung menemui mbok yem, dia sudah ikut dengan keluarga
sejak aku masih baby, bisa dikatakan aku ini anaknya mbok yem, karena mbok yem
lah yang merawatku dari kecil, karena mama sibuk dengan pekerjaannya, Asi nya
pun Cuma di pompa ke dalam botol lalu di freezer untuk diberikan kepada ku
nantinya.
“Mbok yem, kapan sich pulangnya????” sambil ku peluk mbok yem dari
belakang.
“Hadu mbak iren, bikin kaget aja. Mbak Iren darimana sich? Mama
nyari hlo mbak” jawab mbok yem yang masih sibuk dengan potongan bawangnya.
“Iren males mbok soalnya mama nyebelin sich.. masak Iren dipaksa
kuliah Cuma buat melindungi dia dari gengsinya” Jawabku dengan tetap memeluk
mbok yem sambil bermanjaan.
“Mbak Iren gak boleh gitu kasian mama hlo mbak iren” Mbok Yem
menghentikan potongannya.
“Iya sich mbok, udahlah gak usah bahas mama mbok, Ow ya mbok yem
pulang kapan? Kok gak dijawab sich mbok?” Ucap ku sambil melepas pelukan dan
menuju lemari es untuk mengambil minuman.
“ Lusa mbak iren, mbok uda ijin ke mama katanya sich gak papa,
emangnya kenapa mbak?” jawab mbok yem sambil wara-wiri menyelesaikan tugasnya.
“Aku mau ikut mbok” Aku menuangkan air dalam gelas. Mbok yem
berhenti dan termangu. “ Ikut mbak??? Haduh yang benar saja rumah mbok tu jelek
banget hlo mbak” jawab mbok yem sambil berjalan ke arah ku.
“ Lha trus kalo jelek emang gak boleh apa mbok, lagian dirumah ini
tu berasa sendiri juga kali mbok aku, ya sekalian nyari kegiatan gitu, lagian
besok 1 bulan mama gak balik hlo mbok, trus bulan berikutnya sibuk lagi dan
lagi. Capek mbok sendirian mulu. Lagian mbok yem kan juga kerja terakhir dan
mau pensiun, iren sama siapa mbok?” Sambil meneguk minuman yang ku tuangkan
tadi.
“ Pensiun,
emangnya mbok yem pegawai negeri apa mbak?” Mbok yem tertawa. Seneng rasanya liat
mbok yem tertawa, aku memeluk mbok yem lagi rasanya agak berat melihat tawa
mbok yem tadi. “Mbok, boleh ya aku ikut?” akhirnya mbok yem membolehkan
“Wah, adem gitu ya mbok?” jawab ku sambil menikmati nikmatnya udara
segar di desa mbok yem. Aku ikut mbok yem sampai batas waktu yang tidak ditentukan,
aku pergi tanpa pamit. Mbok yem melarang sebanarnya karena mama pasti panik. “
Mbok kalo mama panik, ntar nelpon, liat aja uda 5 jam perjalanan gak da tu
telpon dari mama” jawab ku atas larangan mbok yang gak ijin. Sekitar 1 jam aku
naik andong atau delman, sampai juga di depan bangunan besar masih berbentuk
kuno dengan pekarangan luas disertai tanaman herbal semacam jahe, lengkuas dan
keturunanya.
“Nah, ini rumah mbok yem, jelek mbak, gak kayak rumah mbak iren di
Jakarta, disini kumuh” Ujar mbok yem mengenalkan rumahnya, sambil menurunkan
bawaan dari Jakarta.
“Ya ampun, ukuran kampung ma biasa kali mbok yang kayak gini.”
Ucapku bahagia, entah mengapa di rumah besar itu aku sama sekali gak merasa
baik. Setelah turun di rumah mbok yem rasanya kayak waktu bayi dulu masih hidup
biasa ngrasa lahir kembali. Mbok yem menurunkan bawaan ku dari atas andong “
mbok, mulai sekarang iren gak perlu diladeni, oke” aku langsung masuk ke dalam
rumah mbok yem. Ku ketuk pintu rumah itu, keluar seorang anak perempuan
seumuran denganku membukakan pintu “ Mbak iren???” dia kaget melihat lkut datang.
“Hehe miar, kok kamu masih inget sama aku”. “Ya masihlah mbak iren, ada-ada
aja, mari masuk mbak” Namiar mengajak ku masuk, aku bertemu saat aku masih
kelas 3 SMP, saat itu dia ikut liburan ke tempat mbok yem kerja. Dirumah itu
aku disambut dengan baik diperlakukan bak tamu kehormatan, walau sebenarnya aku
tidak ingin diperlakukan seperti itu, tapi karena itu adalah mbok yem, aku gak
akan bisa berbuat apa-apa. Nampaknya aku akan betah disini.
Waktu berjalan sudah hampir 3 bulan, mama hanya menghubungi ku satu
kali, itupun saat aku sedang tidur hingga sekarang tak lagi menelpon, ok sisi
itu kulupakan aku benar-benar tidak merasa repot akan ketidak hadiran mama. “
Mbak iren, ikut aku yuk ke kebun, nanem benih cabe.” Ajak miar kepada ku. Aku
mengiyakan, kita berjalan menuju kebun yang letaknya tak jauh dari rumah mbok
yem, benar-benar sejuk dan menyegarkan
udara yag ada disekitar sini. Sampailah di kebun mbok yem, “ Mbak iren ikut
turun atau tunggu disini” ucap iren bertanya pada ku . “emm, gak deh miar aku
tunggu disini aja ya??” ucapku, maklum belum pernah aku bersentuhan dengan
halyang becek. Aku mendengarkan lagu kesukaan ku sambil menunggu miar
menyelesaikan tanaman benih nya. Tiba-tiba sebuah rumah yang berada paling
ujung membuat ku kaget, jujur saja itu adalah bangunan rumah paling mewah
menurut ku dan modern. Tak lama keluar laki-laki yag ciri-ciri luar sangat
mirip dengan pria yang kulihat di halte tempo hari. Hah, benarkah???? Hingga
miar datang memecahkan lamunan ku “ Mbak iren nglamunin apa??” “hah, kamu
naggetin aja, gak miar itu kenapa bisa beda ya???” tanyaku sambil menunjuk
rumah di ujung desa itu. “ Oh, itu rumahnya mas irwan mbak iren, dia Pegawai di
Kota sana mbak, rumahnya paling gede disini, soalnya dari umur 12 tahun dia uda
kerja mbak, ya sampai sukses gitu dia”. “Ha, 12 tahun uda kerja??? Gak sekolah
miar?” , tanyaku penasaran .
“Nanti aku ceritakan dirumah mbak iren, balik yuk uda sore, belum
mandi juga kan?”
“Miar, tadi katanya mau cerita?” aku terus memaksa miar agar mau
cerita. Akhirnya Miar cerita tentang cerita ayang sebenarnya. “ Mas Irwan itu
dulunya orang gak punya mbak, orang tua nya uda gak ada, dia anak tunggal, mau
gak mau dia musti banting tulang buat hidupnya sendiri, dia pergi ke kota mbak
buat nyari uang, beberapa tahun kemudian dia uda sukses, bahkan nich mbak tiap
gajian pasti mas irwan selalu bagi-bagi hasil mbak. Tapi sayang dia punya penyakit
yang bisa bikin dia pergi sewaktu-waktu mbak. Namanya tu kanker darah mbak,
waktu denger tu kita sedih mbak, maklum mbak, mas irwan tu kayak pahlawan
disini mbak, jadi banyak yang sayang sama mas irwan mbak.”
“Kanker darah? Uda diobati miar???” tanyaku penasaran pada mas
irwan. “Em, katanya dulu sich harusnya di rawat inap mbak tapi mas irwan gak
mau mbak. Uda ya mbak aku ngantuk nich…”
Aku masih melamun, entah bagaimana hanya melihat tanpa mengenal
rasanya aku sangat terpikir oleh sosok irwan itu. Pagi harinya aku pamit sama
mbok yem untuk ke kebun, bukan apa-apa aku masih penasaran saja dengan irwan.
Aku duduk di dekat batu yang memang diletakkan untuk sandaran para petani yang
ada disekitar situ, karena memang tempatnya nyaman sekali. “ Dari Kota sebelah
ya?” Suara seoang laki-laki yang membangunkan lamunan ku, dan itu suara orang
yang disebut miar sebagai irwan.
“Ha, em, i..iya..” ucap ku gugup, bagaimana tidak orang yang mau
aku selidiki malah kini di depan ku, tanpa aku sadari pula kedatanganyya. Dia
duduk disebelah ku. Aku pun berusaha menutupi kegugupanku dengan bertanya
padanya “ Kok kamu tahu kalo aku dari kota”.
“ Iya lah, seluruh orang
disini aku tu tahu, kamu aja yang kelihatannya asing.” Ucapnya “pasti kamu mau
Tanya kenapa aku bisa tahu kamu disini?” hah, dia menebak apa yang aku mau katakan.
“ Ow, ya, rumahku disana, kamu pasti sudah tau, sering main kesana ya, kebetulan
aku ada akses buat internet, biar kamu gak bosan. Ow ya, aku irwan” ucapnya
sambil berdiri dan mengulurkan tangan untuk perkenalan. Aku pun membalas uluran
tangannya “ Oh, irwan, aku Iren” Dia turun menuruni jalan kecil yang berada di
pinggiran kebun mirip jalan setapak.
Beberapa hari seteleh pertemuan itu aku akhirnya memutuskan untuk
main kesana, dengan diantar miar aku mengunjungi rumahnya. Kali pertama aku
hanya ingin tahu lewat mana ketika ingin kerumahnya. Ternyata lumayan jauh
juga. Kali kedua aku masih mengajak miar. Dan yang ketiga aku mencoba datang
sendiri, tapi benar-benar apes atau entah kebetulan dia telah ada di depan rumahnya,
karena sudah ketauan aku pun beralasan meminjam akses internet nya.
“Mas irwan aku mau pinjem, buat ngaktifin akun ku bentar bisa.”
Pinta ku sambil berusaha menutupi niatan ku sebenarnya. “ masuk aja ren, ada di
kursi tuh, aku mau nyiram tanaman sawo ku dulu,” ucapnya sambil menancapkan
selang ke dalam lubang keran miliknya. Aku pun masuk kedalam rumah dan
mengambil laptop miliknya. Benar-benar bersih walau dia tinggal sendiri, tapi
dia sangat rapi. “Mas Irwan tinggal sendiri ya? “ tanyaku sambil membuka laptop
miliknya. Dengan masih menyiram pohon tanaman miliknya ia menjawab sambil
tersenyum “ Pasti uda tau dari Miar atau mbok yem kan, kok Tanya lagi???”.
Sesaat aku merasa bodoh sekali kayak ada bahan buat dibahas aja. Mumpung dia
sedang nyiram tanaman aku pun bertanya “ Itu tanaman buat mas irwan sendiri
atau dibudidayakan mas?”
“Ini? Ini tu
untuk warga, aku Cuma mbesarin sampai setinggi 1 meter, setalah itu ini akan
dipindah ke kebun mereka ya, biar ada rindang-rindangnya, kan lumayan kalo
berbuah.” Jawab dia sambil duduk disebelah ku. Kita ngobrol seputar hal yang
mungkin kita nyambung. Dan dia adalah pria berpikiran kota yang sangat maju,
nyaman, friendly, menyenangkan sekali.
Sudah hampir 5 bulan aku mengenal mas irwan, suatu hari aku diajak
mas irwan ke sebuah tempat. “Ren, sini deh ikut aku, kebetulan jalan yang
diseberang kan uda di tutup, nah, aku kasih tau deh supaya bisa ke kota dengan
cepet.” Aku mengiyakan ajakan mas irwan. Sampai disebuah terowongan yang kotor.
“Jijik ya kamu?” Tanya mas irwan pada ku. “ Gak lah mas, aku bukan cewek kayak
gitu, kemayu “ kami tertawa bersama. Disinilah mas irwan menyatakan perasaan
nya pada ku “ Ren, sejujurnya aku suka sama kamu waktu kamu awal disini” aku
kaget mendengar mas irwan menyetakan perasaanya. Singkatkanya hari itu kami
menyatakan cinta kami masing-masing. Kurang lebih satu tahun kami bersama, mas
irwan mengajak bertemu di terowongan itu, dia membawa pohon sawo untuk ditanam
di ujung terowongan. “ Nich, kalo ntar kamu menunggu kedatangan ku nanti, ini
bisa jadi temen, sawonya enak banget ini” seminggu kemudian mas irwan tiba-tiba
menghilang tanpa jejak, rumahnya pun sepi tanpa ada orang, orang disekitar situ
pun tak pernah tau, sedih sekali hati ini mendengar berita itu. Terlebih sudah
2 bulan mas irwan tidak pulang. “Aku yakin kamu akan datang pada ku nanti mas”
itu yang kuucapkan dalam hati. Aku telusuri terowongan itu setiap hari namun
nampakanya mas Erwin benar-benar tak kembali. Aku memutuskan untuk kembali ke
kota, dengan harapan mungkin aku bisa melihat mas irwan atau bayangannya, kalopun
tidak aku ingin melupakannya saja.
Sesampainya dirumah, aku kembali ingin mengingat memori tentang mas
irwan saat ia menantikan kedatangan bus, namun 3 jam aku disana tak ada lagi.
Aku memutuskan untuk istirahat sejenak dan berusaha sedikit melupakan mas
irwan. 1 bulan lamanya aku mengahabiskan
waktu dirumah nyatanya tak bisa begitu saja aku melupakan mas irwan. Pagi hari
yang indah aku ingin jalan-jalan entah mengapa aku berhenti di tempat yang
sama, kali ini pemandangan itu berbeda, sesosok pria mirip mas irwan memang
terlihat di ujung jalan sana, tapi siapa wanita disampingnya? Dengan tangan mas
irwan yang ada di pundak wanita itu??? Sekretarisnya?? Lagi dan lagi belum
Tanya ku terjawab sebuah bus kembali menutup pandanganku dan setelah bus itu
pergi tak lagi ku lihat pasangan di ujung sana. Aku piker ini hanya sebatas
halusinasi ku yang sudah kangen oleh sosok mas irwan atau mungkin kisah ini
sama mulanya, barangkali aku bisa menemui mas irwan di desanya.
Hari itu juga aku datang ke rumah mbok yem, dan menceritakan semua
pada mbok yem, bersama miar aku diantar menuju rumahnya. Masih sama seperti 3
bulan lalu, rumah itu tetap sepi tak ada kehidupan, terlebih tanaman sawo, pepaya,
yang telah mati karena tak terawat. Lalu apa maksudnya semua ini??? Mengapa
hanya lubang yang mas irwan tinggalkan untuk ku, kenapa tidak sekalipun ia
menancapkan kata-kata agar aq menunggu atau kata lain yang tidak meninggalkan
bekas di hati ini, pohon sawo yang ada di terowongan disana, apa maksudnya atau
kah dia meninggalkan pohon sawo itu hanya untuk kenangan semata, atau agar
hanya sekedar perindang di sekitar terowongan, atau justru dia sengaja ingin terus
membuat memori buruk ketika aku melewati terowongan ini? Atau apapun itu
terowongan ini tidak ada yang berniat membongkarnya agar setidaknya bisa
dijadikan tempat atau jalan terbuka, mereka mengatakan ini adalah
kenang-kenangan dari mas irwan. Lantas bagaimana dengan kanker itu? Sembuhkah
dia atau telah tiadakah dia, jika memang warga disini sangat dia sayangi kenapa
tak ada satupun yang diberitahu keberadaanya. Kalau dia masih hidup, hidup
dimanakah dia sekarang? Tidak kah dia ingat pada warga disini, jika dia telah
tiada, dimana nyawanya terakhir kali bersama dia.? Pikiran itu selalu
mengganggu pikiran ku.
“Buukk” Suara sawo yang jatuh tepat mengenai kepala ku yang ku
sandarkan di batang pohon yang telah
menguat saking lamanya berdiri mampu membangunkan ku dari memori kelam masa
lalu, bersama dengan itu suara anak ku membangunkan lamunan ku “ Ibu, kemana
aja sih, dicari kenapa gak da”. Ucap septi anak ku yang paling cantik sambil
berlari mendekat padaku.
“kamu udah makan sep??” tanyaku sambil ku gendong anak ku yang
manis.
“ Udah bu, mbok yem tadi uda masakin, enak hlo, ayah aja sampe
nambah, ow ya ma, besok ajak mbok yem sama tante miar buat beli baju yuk, “
rengek anak ku sambil mencium pipiku.
“ Iya sayang, ya uda ntar bilang ayah ya, yuk pulang.” Ku turunkan
septi dan ku pegang erat tangan mungilnya. “ Mas Irwan, ini anak ku, mungkin
kamu sekarang lebih beruntung karena munkin sekarang anak mu sudah besar, atau
mungkin seumuran septi? Entah lah mas, aku sendiri tak tahu bagaimana kabarmu, dan
sawo-sawo itu sudah jatuh semua, mereka sudah berlubang dimakan ulat, sama
halnya dengan hati ku yang berlubang karena janjimu. Sudahlah toh pada akhirnya
kita sudah ada di kebahagiaan masing-masing” ungkap hatiku sambil berjalan meninggalkan
terowongan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar